Membuat perjanjian perkawinan atau biasa disebut “perjanjian pra nikah” atau “perjanjian pemisahan harta” saat ini masih dianggap kurang baik bagi pasangan yang akan melakukan perkawinan di Indonesia, hal ini dikarenakan adanya pandangan negatif yang menganggap Perjanjian Perkawinan sebagai suatu tindakan yang tidak etis, egois dan seolah olah mendoakan pasangan untuk bercerai, padahal secara hukum perjanjian perkawinan dibuat agar dapat melindungi asset/harta ataupun hutang pasangan suami dan isteri selama terjadinya perkawinan.
Adapun gambaran 5 (lima) manfaat umum jika calon/pasangan suami dan isteri membuat perjanjian perkawinan, yaitu :
1. Terjadi pemisahan harta dan hutang selama masa Perkawinan
Apabila suami atau isteri membeli sebuah asset seperti rumah atau kendaraan selama perkawinan, maka asset tersebut adalah milik dari pihak yang membelinya, tidak dapat dikatakan sebagai harta bersama atau gono gini.
Demikian juga terhadap hutang yang dilakukan selama perkawinan, maka pihak yang bertanggung jawab terhadap hutang adalah yang berhutang. Contoh : apabila suami berhutang di Bank atau pihak ketiga, maka yang bertanggungjawab membayar hutang adalah suami. Pihak isteri tidak bertanggungjawab terhadap hutang suami.
2. Tidak ada pembagian harta bersama (gono gini) jika terjadi perceraian
Menurut hukum Indonesia yaitu Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan serta Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1448 K/Sip/1974 tertanggal 9 November 1967 dinyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara bekas suami istri. Itu artinya wajib dibagi ½ (seperdua) untuk suami dan ½ (seperdua untuk isteri.
Namun apabila terdapat “perjanjian perkawinan” atau “perjanjian pra nikah” atau “perjanjian pisah harta”, maka apabila timbul perceraian dikemudian hari terhadap asset yang dibeli atau diperoleh baik karena pemberian oleh salah satu pihak selama perkawinan menjadi milik masing-masing.
3. Tidak perlu persetujuan pasangan dalam melakukan pembelian, penjualan atau berhutang kepada pihak ketiga
Suami atau isteri yang melakukan pembelian atau penjualan asset tidak harus mendapatkan persetujuan pasangan jika memiliki perjanjian perkawinan.
Sebagai contoh, apabila salah satu pihak berniat untuk membeli atau menjual sesuatu atas miliknya maka tidak perlu persetujuan dari pihak lainnya.
Demikian juga bila ingin berhutang kepada pihak ketika, suami atau isteri yang berhutung tidak perlu meminta persetujuan pasangannya.
4. Menghindari konflik berkepanjangan ketika terjadi perceraian dalam sengketa harta bersama
Salah satu akibat perceraian adalaha adanya pembagian harta bersama (gono gini). Dalam praktek, sengketa atau pertengkaran masalah harta bersama (gono gini) akan berlangsung lama di Pengadilan jika para pihak saling mempertahankan asset masing-masing dan tidak ada musyawarah mufakat.
Oleh karena itu, dengan adanya perjanjian perkawinan, maka akan meminimalisir konflik berkepanjangan antara pasangan jika terjadi perceraian khususnya dalam perebuatan asset/harta.
5. Meminimalisir resiko gugatan hukum kepada pasangan lainnya
Apabila pasangan memiliki hutang dan tidak mampu membayar hutangnya kepada pihak ketiga, maka tidak menutup kemungkinan asset/harta yang dibeli oleh dan milik isteri secara pribadi selama masa perkawinan dapat ditarik atau digugat oleh pihak ketiga (kreditur) karena adanya anggapan hutang yang ada selama masa perkawinan merupakan hutang bersama.
Dengan adanya perjanjian perkawinan atau perjanjian pra nikah ini membuat hutang yang dilakukan suami adalah tanggungjawab suami, sehingga asset/harta yang dibeli oleh dan milik isteri tidak dapat ditarik atau digugat ke pengadilan untuk disita/diambil.
Cara Membuat Perjanjian Pra Nikah / Perjanjian Perkawinan ?
Perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam 2 (dua) pilihan waktu, yaitu :
- Perjanjian sebelum perkawinan berlangsung (prenuptial agreement) atau disebut dengan perjanjian “pra nikah” yaitu perjanjian pisah harta yang dibuat calon pasangan suami dan isteri sebelum melangsungkan perkawinan.
- Perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan (postnuptial agreement) yaitu perjanjian pisah harta yang dibuat pasangan suami dan isteri setelah melangsungkan perkawinan.
Perjanjian perkawinan dibuat dihadapan notaris yang dimana para pihak menandatangan perjanjian. Setelah itu, terhadap perjanjian perkawinan tersebut wajib dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
Adapun syarat umum yang perlu dilengkapi dalam membuat perjanjian perkawinan ini adalah :
- KTP Para Pihak;
- NPWP Para Pihak; (Wajib bila telah memiliki penghasilan)
- Paspor/ Kitas + Surat Izin Nikah dari kedutaan (Wajib untuk WNA).
_____________________________
Bila ingin berkonsultasi terkait pembuatan perjanjian perkawinan atau perjanjian pra nikah, ataupun ingin mengetahui harga pengacara perceraian, silahkan hubungin kami legalkeluarga.id melalui :
Telepon/ WhatsApp : 0813-8968-6009
Email : klien@legalkeluarga.id