Indonesia mengenal beberapa sistem hukum waris. Oleh karena itu, setiap keluarga perlu memahami hukum mana yang berlaku sebelum membagi warisan. Secara umum, masyarakat Indonesia menggunakan tiga sistem hukum waris, yaitu hukum waris KUH Perdata, hukum waris Islam, dan hukum waris adat. Namun demikian, dalam praktik modern, masyarakat paling sering menerapkan hukum waris KUH Perdata dan hukum waris Islam.
Kedua sistem hukum tersebut mengatur pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda. Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat sangat penting agar pembagian warisan tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Pembagian Warisan Menurut KUH Perdata
Hukum waris KUH Perdata berlaku bagi masyarakat yang tidak beragama Islam. Sistem ini menempatkan anak laki-laki dan anak perempuan dalam posisi yang setara.
Pasal 852 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa anak-anak atau keturunannya mewarisi harta peninggalan orang tuanya tanpa membedakan jenis kelamin maupun urutan kelahiran.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum waris KUH Perdata membagi warisan secara sama rata antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dengan demikian, setiap anak menerima bagian yang sama selama ia memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.
Sebagai contoh, apabila orang tua meninggalkan dua orang anak, yaitu satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, serta meninggalkan harta berupa rumah senilai Rp1 miliar, maka masing-masing anak berhak memperoleh Rp500 juta apabila keluarga menjual rumah tersebut.
Selain itu, KUH Perdata melindungi hak mutlak ahli waris melalui prinsip legitime portie. Prinsip ini melarang pewaris mengurangi hak minimal ahli waris melalui hibah atau wasiat.
Pasal 913 KUH Perdata menegaskan bahwa legitime portie merupakan bagian warisan yang wajib diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus dan tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu, apabila pembagian warisan melanggar ketentuan tersebut, ahli waris dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut haknya.
Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam
Hukum waris Islam mengatur pembagian warisan dengan prinsip yang berbeda. Sistem ini berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan merujuk pada Al-Qur’an serta Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 176 KHI mengatur bahwa anak perempuan yang seorang diri menerima 1/2 bagian. Apabila terdapat dua orang atau lebih anak perempuan, maka mereka bersama-sama menerima 2/3 bagian. Namun, apabila anak perempuan mewaris bersama anak laki-laki, maka anak laki-laki menerima bagian dua kali lipat dibandingkan anak perempuan.
Dengan demikian, hukum waris Islam secara tegas membedakan besaran bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan. Perbedaan ini muncul karena Islam menempatkan tanggung jawab nafkah keluarga pada laki-laki.
Sebagai contoh, apabila pewaris meninggalkan satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, maka anak laki-laki menerima dua bagian, sedangkan anak perempuan menerima satu bagian.
Para ulama menjelaskan bahwa perbedaan tersebut muncul karena anak laki-laki memikul kewajiban menafkahi istri, anak, dan keluarga yang berada di bawah tanggungannya. Sebaliknya, anak perempuan tidak memikul kewajiban tersebut. Oleh karena itu, Islam menetapkan pembagian yang seimbang antara hak dan tanggung jawab.
Kesimpulan Pembagian Warisan Anak Laki-Laki dan Perempuan
Berdasarkan penjelasan di atas, pembagian warisan anak laki-laki dan perempuan sangat bergantung pada sistem hukum yang berlaku. KUH Perdata membagi warisan secara sama rata tanpa membedakan jenis kelamin. Sebaliknya, hukum waris Islam menetapkan perbandingan 2 banding 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Oleh sebab itu, sebelum membagi warisan, keluarga perlu menentukan sistem hukum yang berlaku agar pembagian berjalan adil dan sesuai ketentuan hukum.
Apabila Anda ingin berkonsultasi mengenai hak waris, pembagian warisan, atau gugatan waris di pengadilan, silakan hubungi legalkeluarga.id melalui:
📞 Telepon / WhatsApp: 0813-8968-6009
📧 Email: klien@legalkeluarga.id